ilustrasi (inet) |
dakwatuna.com. Allah swt. berfirman, “Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.”[Fathir:
8]. Banyak orang berkesimpulan bahwa Allah swt. menyesatkan hamba-hamba
yang dikehendaki-Nya. Hal ini sudah lumrah kita dengar. Namun kata
“Allah swt. menyesatkan” atau “disesatkan Allah swt.” memberikan kesan
buruk dan dhalim. Seakan orang yang sudah berada di jalan menuju surga,
lalu Allah swt. ajak dan belokkan dia ke jalan menuju neraka. Benarkah
hal tersebut?
Dalam hal kesesatan seorang manusia, Allah Maha Adil, tidak pernah
dhalim. Sedangkan dalam hal mendapatkan hidayah, Allah Maha Baik, bukan
sekadar adil. Hal itu karena semua manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah, yaitu beriman kepada Allah swt. Namun begitu dilahirkan, dia
dikelilingi faktor-faktor yang bisa merubah keimanannya. Keluarga,
sekolah, media massa, pergaulan, dan sebagainya. Tanpa perlindungan dari
Allah swt., manusia sangat lemah berhadapan dengan itu semua.
Sehingga bisa dikatakan, seluruh manusia tanpa kecuali, sebenarnya
sedang berjalan menuju ke neraka. Tapi Allah swt. berkehendak
menyelamatkan orang-orang tertentu. Allah swt. memberikan taufiq dan
hidayah-Nya; memasukkan keimanan dalam hati orang-orang tersebut. Inilah
kebaikan Allah swt. Sedangkan selain mereka, Allah swt. biarkan berada
dalam kesesatan karena memang mereka berhak untuk mendapatkannya. Inilah
keadilan Allah swt.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah swt. berfirman, “Wahai hamba-Ku,
kalian semua adalah sesat kecuali yang Aku beri hidayah. Maka mohonlah
hidayah kepada-Ku, niscaya kalian Kuberi.” [HR. Muslim].
Mensyukuri Hidayah
Orang yang mendapatkan hidayah hendaknya banyak bersyukur. Tanpa
kehendak Allah swt., mereka tidak akan pernah bisa meniti jalan menuju
surga. Apapun usaha yang telah dan sedang mereka lakukan; sebesar apapun
mukjizat yang telah mereka saksikan. Allah swt. berfirman, “Kalau
sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang
telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala
sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman,
kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” [Al-An’am: 111].
Oleh karena itu, banyak kita dapati fenomena orang telah hapal
Al-Qur’an, menguasai bahasa Arab, dan mengkaji ilmu-ilmu Islam, tapi
tidak beriman kepada Allah swt. Fenomena isteri atau anak seorang nabi
menentang Allah swt. Ini semua membuktikan bahwa hidayah keimanan ada di
tangan Allah swt.
Orang yang telah mendapat hidayah dan tergerak hatinya untuk meniti
jalan menuju surga sangatlah beruntung. Karena semua manusia berada
dalam kesesatan. Jiwa, syahwat, dan nafsunya lebih cenderung kepada
keburukan. Gemerlap dunia membuatnya silau sehingga dia tertipu. Setan
tidak henti-hentinya menggoda dan membisikkan keburukan. Manusia
benar-benar dikepung oleh dengan faktor kesesatan. Ketika Allah swt.
membimbingnya menuju keimanan, maka dia adalah manusia pilihan Allah
swt. Hendaknya dia mensyukuri dan melestarikan hidayah tersebut dengan
selalu menaati tuntunan Allah swt.
Dibiarkan dalam Kesesatan, Bukan Disesatkan
Allah Maha Adil, dan tidak pernah berbuat dhalim. Karena perbuatan
dhalim seperti mencuri, menipu, dan merampas, terjadi perasaan butuh.
Sedangkan Allah swt. tidak butuh apapun. Segala sesuatu yang ada di alam
raya, termasuk manusia, adalah milik Allah swt. Dia Maha Kaya; tidak
memerlukan selain-Nya. Sebaliknya, yang lain membutuhkan-Nya.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah swt. berfirman, “Jika seluruh
manusia dan jin, dari yang pertama diciptakan hingga yang terakhir,
masing-masing memohon kepada-Ku, lalu Aku berikan semua apa yang mereka
minta, hal itu tidak akan mengurangi apa yang Kumiliki, hanya seperti
air yang menempel di jarum ketika dimasukkan ke dalam lautan.” [HR. Muslim].
Allah Maha Adil ketika membiarkan sebagian manusia dalam
kesesatannya. Misalnya karena mereka memang menyenangi kesesatan, tidak
memohon hidayah, meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya, dan
sebagainya. Sejarah banyak mencontohkan orang-orang seperti ini. Fir’aun
adalah penguasa dunia yang sudah mengetahui kebenaran dakwah Musa as.
Bahkan dia sempat mengucapkan keimanannya saat dirundung musibah. Namun
setelah selesai, dia kembali kafir.
“Dan mereka (Fir’aun dan pengikutnya) berkata, “Hai ahli sihir
(Musa as.), berdoalah kepada Tuhanmu untuk (melepaskan) kami sesuai
dengan apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu; sesungguhnya kami (jika
doamu dikabulkan) benar-benar akan menjadi orang yang mendapat petunjuk.
Maka tatkala Kami hilangkan siksaan itu dari mereka, dengan serta-merta
mereka memungkiri (janjinya).” [Az-Zukhruf: 49-50].
Setelah berdialog dengan Abu Sufyan, Heraklius menyimpulkan dan
meyakini bahwa Muhammad saw. adalah utusan Allah swt. Namun segera dia
menyebutkan alasan untuk menolak kebenaran tersebut, “Seandainya aku bukan penguasa, aku pasti akan segera mendatangi Muhammad, dan aku basuh kakinya.”
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian
beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya,
maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan
tidak (pula) memberi mereka hidayah kepada jalan yang lurus.” [An-Nisa’: 137].